Senin, 14 April 2008

AGAMA, KONFLIK, DAN RESOLUSI KONFLIK

AGAMA, KONFLIK, DAN RESOLUSI KONFLIK

(Suatu Sumbangsih Pemikiran Terhadap Konflik Agama di Indonesia)

  1. Latar Belakang

Konflik tidak dapat lepas dari kehidupan tiap manusia. Mungkin pernyataan penulis ini menimbulkan berbagai ketidaksetujuan dari beberapa pihak dan kalangan. Namun, maksud penulis memberi pernyataan berikut ini tidak serta-merta mengatakan bahwa konflik itu benar. Dalam “materi pelatihan untuk stakeholder di Poso”, Litaay mengatakan bahwa kehidupan manusia tidak bisa lepas dari konflik karena kehidupan manusia tidak jauh dari suatu keadaan di mana terjadi ketidak-sepakatan, perbedaan pandangan, benturan kepentingan, maupun pertikaian terbuka antara dua pihak atau lebih.1 Maksud dari penulis sendiri lebih condong untuk mengarahkan perhatian kita kepada adanya kepentingan pribadi (abadi) yang dimiliki setiap manusia. Suatu kepentingan yang tak dapat dihilangkan ketika masih berada di dunia yang fana ini.

  1. Pembatasan Masalah

Dalam penulisan makalah ini, penulis mengangkat dalam judul besar yaitu Agama, Konflik, dan Resolusi Konflik: Suatu Sumbangsih Pemikiran Terhadap Konflik Agama di Indonesia. Sorotan terhadap agama akan menjadi tujuan yang utama dalam pengkajian makalah ini. Penulis melihat bahwa pentingya peran agama dalam solidaritas sosial dalam masyarakat. Hal ini yang membuat banyak pengaruh, dan kebanyakan jahat ketika agama menjadi otoritas tertinggi dalam suatu praktek sosial. Agama yang tak memiliki kontrol bersama dalam pengaplikasiannya, sehingga menjadikan agama sebuah kejahatan besar. Penulis lebih cenderung mengatakan para penganut agama sebagai para pengikut yang percaya tanpa adanya respon intelektual untuk mengkaji setiap pemahaman yang dikeluarkan oleh agama dan inilah kebanyakan yang terjadi di Indonesia ini. Tentunya juga dalam makalah penulis ini, penulis hanya memberikan satu sisi dari sebuah koin.


KETIKA AGAMA MENJADI AKAR KONFLIK

  1. Charles Kimball: When Religion Becomes Evil2

Tradisi tiap agama selalu mengajarkan mengenai moral dan etika yang baik dalam kehidupan terhadap sesama, bahkan sampai impian kepada masa depan yang bahagia.3 Kimball juga mencatat bahwa hampir segala kejahatan yang dilakukan banyak orang diatasnamakan agama. Agama mempunyai otoritas tertinggi dalam setiap perintah di ayat sucinya. Bahkan, dengan menunjukkan paradigma yang terlalu fundamental, agama mampu menerobos pola pikir manusia menjadi pola pikir yang hanya memikirkan agama – segala sesuatu benar – masuk surga.

Berikut ada 5 tesis yang diberikan Kimball sebagai latar belakang lahirnya kekerasan agama:4

  1. Klaim Kebenaran Mutlak

Klaim kebenaran mutlak ini adalah suatu kecenderungan / tanggapan (kepercayaan penuh) yang diberikan umat kepada pemimpin yang mengajarkan dan menginterpretasikan teks-teks kitab suci sebagai kebenaran. Bagi Kimball, kecenderungan yang seperti ini merupakan awal dari kejahatan dengan memanfaatkan kepercayaan penuh para pengikut. Kimball membagi lagi klaim-klaim kebenaran mutlak ke dalam beberapa aspek penting, seperti:

    1. pemahaman tentang Tuhan yang begitu sempit, sehingga hal ini akan menyebabkan tidak dapat menghargai agama lain karena Tuhan dalam agamanya merupakan mutlak yang benar, misal: “agamaku lebih sempurna dari agamamu karena Tuhan hanya satu-satunya Tuhan yang berkuasa,”

    2. oleh karena kepercayaan penuh terhadap penafsiran yang dilakukan para pemimpin agama, maka ada kesempatan besar bagi para pemimpin agama untuk memanipulasi dan mengeksploitasi teks-teks kitab suci. Toh, yang para pengikut tahu hanya menjalankan apa yang para pemimpin agama perintahkan karena “seperti yang tertulis dalam kitab suci.” Hal ini pula yang membuka peluang besar untuk melegitimasi dengan membenarkan terjadinya suatu kekerasan dan kejahatan yang dilakukan,

    3. paradigma misi yang membuat orang yang taat akan agamanya terdorong untuk mempengaruhi orang lain untuk melihat bahwa agamanya adalah baik (Kristenisasi / Islamisasi),

    4. sikap atas klaim kebenaran mutlak yang telah dilakukan akan menentukan bagaimana selanjutnya orang tersebut memandang agama lain, adakah saling menerima satu sama lain atau sulit menerima dan mengakui kebenaran agama lainnya.

  1. Kepatuhan Buta

Tanggapan yang penuh pasrah dari para pengikut agama tanpa adanya penggalian makna dan pandangan kritis terhadap pengetahuan yang muncul tiba-tiba terhadap para pemimpin agama mengenai teks-teks kitab suci akan dengan sendirinya menimbulkan:

    1. kepemimpinan yang otoriter, mendewakan dan didewakan. Sosok seorang pemimpin yang mendewakan penafsirannya sendiri dan didewakan oleh para pengikutnya,

    2. adanya pelimpahan kekuasaan tanpa batas dan isolasi yang sangat kaku oleh sebuah kelompok orang-orang yang mencari alternatif lain di luar kelompok mainstream,

    3. sekelompok orang percaya yang tidak mengerti apa-apa namun setia kepada agamanya tanpa keinginan untuk mengetahui peranan agama yang dianutnya (kesetiaan buta),

    4. indoktrinasi terhadap pengertian dan pemahaman tentang agama yang dilakukan tanpa adanya respon intelektual dari para pengikut yang percaya.

  1. Membangun Zaman Ideal

Suatu agama yang memahami akan adanya zaman yang dinanti-nantikan, di mana zaman itu ialah zaman yang dipahami sebagai zaman pengharapan / zaman yang ideal. Dalam hal ini yang menjadi persoalan ialah ketika adanya suatu usaha-usaha yang negatif (adanya pemaksaan faham-faham yang dianut untuk dinilai yang paling benar, seperti: meng-agama-kan negara dan meng-negara-kan agama) untuk diperjuangkan demi terwujudnya zaman yang ideal ini.

  1. Tujuan Menghalalkan Segala Cara

Kecenderungan penyalahgunaan agama sebagai cara untuk mencapai tujuan dan kepentingan dengan menghalalkan segala cara, seperti penyakralan, melakukan pembelaan yang dehumanis, dan pembelaan hegemonis mati-matian secara konspiratif.

  1. Penyeruan Perang Suci

Istilah “mati syahid” tampaknya lebih cenderung dalam tesis yang kelima ini. Para pengikut yang percaya rela mengorbankan dirinya, bahkan mengakibatkan orang lain menjadi korban pula. Mereka hanya tahu bahwa yang dilakukan adalah baik dan kehendak Allah.

Kimball mengritik agama karena peran agama sudah tidak lagi sesuai dengan ajaran yang diajarkan. Kimball tidak mengatakan bahwa agama itu tidak perlu, tetapi agama seharusnya ada untuk menciptakan kedamaian di antara manusia.

  1. Jack Nelson-Pallmeyer: Is Religion Killing Us?5

Pada dasarnya Pallmeyer mengakui bahwa agama itu baik, tapi sekarang agama mulai tidak lagi bertoleransi dan berujung kekerasan. Agama dipandang sebagai the elephant in the room artinya agama terpenjara oleh paradigma yang begitu bodoh (Agamaku adalah Tuhanku yang tidak mengenal mengenal agama lain) dan melakukan gerakan apatis terhadap disekelilingnya . Oleh karena perubahan yang terjadi dalam diri agama ini, Pallmeyer mulai mengkritik agama dari dalam diri agama itu sendiri.

Pallmeyer mengkritik agama (yang mengakibatkan kekerasan) tidak hanya sudut pandang orang yang menafsirkan dan setiap perbuatan para pengikutnya yang percaya, tetapi juga melihat dari sudut pandang teks itu sendiri. Jadi, kritik Pallmeyer terhadap agama ini mulai dari kitab (teks-teks suci)pembaca – dan sampai kepada konteks. Jack Nelson-Pallmeyer melakukan dekonstruksi dengan mengkritik agama sampai ke akar-akarnya (khususnya Yahudi, Kristen dan Islam) dan ia pun merekonstruksinya sendiri demi kelancaran hidup umat manusia bersama-sama. Rekonstruksinya ialah ketiga agama ini perlu keluar bersama-sama dari pengetahuan tentang agamanya masing-masing untuk melihat secara bersama-sama the “sacred” texts ini yang mengandung / bermakna tradisi violence-of-God (yang di dalamnya terdapat contoh-contoh sikap Allah yang berperang melawan musuh) dan bersama-sama juga mencari jalan keluar terbaik agar tidak terkurung dalam the “sacred” texts mereka sendiri guna menuju paradigma yang konkret dan sehat – inklusif, bukan eksklusif.6

Adapun beberapa contoh tradisi violence-of-God dalam the “sacred” texts yang dipaparkan oleh Jack Nelson-Pallmeyer:

  1. dalam naskah Ibrani, seperti: Keluaran 11:5 – Allah yang membunuh tiap anak sulung di Mesir, baik itu anak manusia maupun anak hewan, serta masih banyak lagi dalam kitab Keluaran yang mengindikasikan bahwa Allah memerintahkan Musa untuk membunuh orang-orang Mesir untuk mengeluarkan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir.7 Kemudian, dalam cerita pembuangan bangsa Israel, Yesaya 60: 10-12 – Allah memukul mundur bangsa yang menawan bangsa Israel demi kesejahteraan bangsa Israel sendiri, dan menghukum bangsa Israel sendiri ketika didapati melakukan dosa.8

  2. dalam naskah Perjanjian Baru, seperti: kematian Yohanes Pembaptis (Mat. 14), eksekusi hukuman salib Yesus (Mat.27: 32-56), dan hancurnya Yerusalem.9 Wahyu 14:9-10 – apokaliptik yang menyatakan bahwa kemurkaan Allah akan turun bagi orang yang tidak taat dan patuh.10 Oleh karena alasan seperti ini dari sekian banyak ayat lainnya, dapat membuka peluang adanya kekerasan yang timbul dalam setiap praktek keagamaan. :

  3. dalam naskah Al-Qur’an, tradisi violence-of-God dibagi menjadi 7 bagian:11

  1. ancaman-ancaman neraka terhadap mereka yang tidak percaya (kalimat syahadat), kalimat pengakuan yang mengandung makna bahwa tiada Tuhan selain Allah dan mengakui nabi Muhammad itu utusan Allah yang paling akhir dan dipercayai membawa Al-salam (Islam),12

  2. ancaman-ancaman neraka terhadap mereka yang bersikap tidak baik dengan memotivasi sikap yang positif (setiap orang harus berjalan sesuai dengan kehendak Allah).13 Hal ini lebih cenderung kepada kepatuhan buta (hanya kehendak Allah yang paling benar),

  3. takut akan Allah yang sesuai dengan kehendak Allah dalam Al-Qur’an. Muhammad sebagai sentral pemberitaan dalam Al-Qur’an. Sehingga banyak yang mendalilkan setiap keputusan yang diambil berdasarkan Muhammad said,14

  4. membenarkan kekerasan manusia dan peperangan melawan agama lain dan musuh-musuh (Allah is Protector of Those Who Have Faith). Fight in the cause of Allah Those who fight you, but do not transgress limits; For Allah loveth not transgressors (2:190),15

  5. Paradise Promisses. Berani melakukan pertarungan / berjihad dan mereka memahami bahwa dengan melakukan kehendak-Nya akan masuk surga. Jack Nelson-Pallmeyer mengutip ayat agar setiap muslim yang melakukan kehendak-Nya masuk ke Surga:16

Those who have left their homes, And were driven out there from, And suffered harm in My Cause, And fought and where slain – Verily, I will blot out From their iniquities, And admit them into Gardens With rivers flowing beneath – A reward from the Presence of Allah, and from His Presence Is the best of rewards. (3:195)

  1. images of God as holy warrior. Dalam Qur’an 2:251 dikatakan bahwa Daud membunuh Goliat dikarenakan Allah’s will. Hal ini mengindikasikan adanya peran serta Allah dalam kekerasan,17 dan

  2. pemahaman umat yang radikal dan tak kenal kompromi (Islamic Extremists). Hal ini disebabkan adanya interpretasi terhadap ayat Al-Qur’an yang sempit, sehingga mengakibatkan pula sempitnya pemahaman yang beredar di kalangan umat.18

  1. Johan Galtung: Segitiga Kekerasan

Johan Galtung, dalam antitesisnya, memperkenalkan conflict trianglenya yang biasa dikenal sebagai segitiga kekerasan Galtung, yaitu:19

  1. Direct (overt) violence. Kekerasan langsung yang terjadi secara fisik (penyerangan langsung).

  2. Structural violence. Kekerasan struktural ini termasuk kekerasan tak langsung karena penekanan lebih condong kepada sistem yang berjalan dalam suatu situasi sosial.

  3. Cultural Violence. Kekerasan yang sudah ada dalam suatu budaya yang dianut sekelompok orang di dalamnya. Model kekerasan ini terjadi karena perilaku yang sudah sering dilakukan (kebiasaan) sehingga tidak terlalu menimbulkan pro dan kontra yang menyolok, terkecuali ada yang memrotes kebudayaan tersebut dan hendak melakukan perubahan karena dinilai telah mengakibatkan kekerasan yang selama ini belum dimengerti sepenuhnya,

Galtung juga memperkenalkan mengenai negative and positif peace. Galtung menilai ketika kekerasan fisik terhenti, namun masih belum terselesaikan secara mendalam, maka hal itu tetap ada konflik dari dalam (negative peace), sedangkan masalah konflik terselesaikan sampai ke akar-akarnya tanpa lagi ada lingkaran dendam dari generasi ke generasi, maka ini disebut sebagai positive peace.

  1. Pengertian Konflik

Secara psikologi, konflik adalah suatu proses yang terjadi apabila perilaku seseorang yang terhambat karena perilaku orang lain dan lebih cenderung terjadinya ketidaksesuaian dalam suatu hubungan. Braiker dan Kelley mengelompokkan bermacam-macam konflik dalam tiga kategori:20

  1. Perilaku spesifik

Konflik yang terjadi karena perilaku spesifik ini terjadi karena salah satu pihak membuat suatu perbuatan atau keputusan yang merugikan orang lain, seperti: orang mabuk di suatu pesta, dan seseorang yang membuang sampah sembarangan, dan lain-lain.

  1. Norma dan Peran

Konflik jenis ini lebih cenderung ke arah sosial yang menyangkut peran, baik hak maupun kewajiban yang ada dalam diri seseorang, seperti: kurang seimbangnya hubungan timbal balik, pengingkaran janji, dan lain-lain.

  1. Disposisi pribadi

Terjadi ketika adanya tanggapan atau respon melalui perilaku seseorang terhadap orang yang tidak disukainya.

Ada pula pengertian konflik secara sosiologi. Engel menyebutkan ada 4 (empat) faktor penyebab konflik, yaitu:21

  1. akibat perbedaan sasaran dan ekspetasi. Adanya perbedaan sasaran terhadap tujuan yang hendak dicapai dalam suatu usaha atau hubungan kerja sama.

  2. Masalah komunikasi yang mengakibatkan salah paham dan salah interpretasi. Terjadi karena kurangnya kemampuan pengetahuan terhadap sesuatu yang hendak diinterpretasi.

  3. Perbedaan gaya manajemen. Adanya perbedaan pandangan dalam memahami atau memandang sesuatu yang hendak dijalankan bersama.

  4. Perbedaan kepribadian / personality. Di sinilah yang sering terjadi konflik karena satu sama lain masih melihat kepribadiannya masing-masing (ras, etnis, suku, sejarah pribadi) sebagai yang paling baik.

Pemahaman-pemahaman konflik di atas dapat kita tarik suatu pengertian bebas, yaitu konflik terjadi karena adanya suatu hubungan kekerabatan (relationship). Hubungan kekerabatan ini menciptakan suasana interdependensi yang meningkat. Hal inilah yang membuat semakin rentannya konflik terjadi, baik itu secara individu maupun sosial. Interdependensi yang makin meningkat akan meminta suatu pengertian bersama atau dengan kata lain kehidupan bersama mengehendaki adanya suatu pandangan bersama yang universal guna mencapai tujuan bersama ke depannya dan tetap terjaganya relationship tersebut. Namun, konflik akan terjadi ketika tidak adanya suatu pandangan bersama, apalagi cenderung berorientasi kepada kepentingan-kepentingan individu.


AGAMA, KONFLIK, DAN RESOLUSI KONFLIK DI INDONESIA

Tercatat bahwa semenjak adanya program transmigrasi di Indonesia yang sebelumnya sudah dilakukan oleh pemerintahan Soeharto (1968-1998), telah mengakibatkan timbul banyaknya persepsi bahwa pemerintah sengaja mengadakan transmigrasi untuk melakukan peng-Islam-an di Indonesia (isu Islamisasi). Mengenai hal ini ternyata program transmigrasi sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda dengan tujuan untuk memindahkan penduduk dari daerah padat, seperti pulau Jawa, Bali dan Madura ke daerah yang lebih sedikit penduduknya, seperti Ambon, kepulauan Sunda dan Papua.22 Isu Islamisasi ini terjadi ketika mulai bermunculannya konflik-konflik agama di daerah-daerah tujuan transmigrasi tersebut. Kenyataannya tujuan program ini (pada beberapa dekade ini), yang diaktifkan pada zaman Hindia Belanda, tidak lagi semurni apa yang dilakukan pada masa lalu. Ada kepentingan-kepentingan pribadi yang dijalankan demi tercapainya kekuasaan politik untuk memecah-belah persatuan dan kesatuan di daerah yang dituju dan tentunya kepentingan-kepentingan para elit penguasa.

  1. Agama: Suatu Analisa Peran Agama di Indonesia

Adalah Franz Magnis-Suseno yang mengatakan bahwa agama dalam era modern dan globalisasi ini agama masih berpegang pada paradigma lama. Paradigma lama yang dimaksud Suseno ialah paradigma agama yang masih eksklusif, yaitu orang kita-orang asing. Ada keterpisahan antara orang yang percaya pada suatu agama dengan orang yang percaya dengan agama lain. Pada abad ke-21 ini, dunia semakin meng-universal, semua hal bisa terjangkau. Oleh karena itu, manusia juga membutuhkan pemikiran yang universal untuk dapat bersatu dengan individu yang lain menjalin komunikasi dan kerjasama. Namun, sayangnya agama menjadi faktor penghambat untuk hal ini. Agama menolak dengan dingin apa yang disebut modernisasi. Dalam hal ini, Suseno membandingkan masa sekarang dengan masa Pencerahan (Aufklarung), di mana mulai memperjuangkan cita-cita etika politik baru yang bertujuan menjamin martabat manusia ciptaan Allah, tapi agama menolaknya dengan dingin cita-cita demokrasi, hak asasi manusia, toleransi religius, kebebasan berpikir dan beragama, serta cita-cita kebebasan dan kesamaan manusia itu. Dengan demikian, konflik akan terjadi terus karena agama selalu merasa bahwa modernisasi dan globalisasi adalah ancaman mutlak bagi mereka, sehingga untuk menegakkan agamanya, orang-orang di dalam agama (fanatik) akan melakukan tindakan dehumanisasi untuk mempertahankan paradigma lama mereka.23

Selain itu ada juga pandangan seorang pendeta Sumba yang mengatakan bahwa sikap fanatik telah mencemarkan dan memerosotkan agama sampai ke tingkat yang paling rendah. Mengapa dikatakan fanatik? ya, karena semangat itulah yang sedang terjadi dalam negara Indonesia. Yewangoe mengambil contoh dalam Hans űng mengenai empat posisi relasi antar-agama dalam negara Indonesia, yaitu posisi pertama ialah tidak ada agama yang benar (semua agama sama-sama tidak benar), posisi kedua ialah hanya ada satu agama, semua agama lain tidak benar, posisi ketiga ialah setiap agama adalah benar (semua agama adalah benar), posisi keempat ialah hanya satu agama yang benar dan agama lain mempunyai andil dalam kebenaran agama yang satu ini. Adalah posisi yang kedua merupakan relasi antar-agama di Indonesia, yaitu hanya ada satu agama yang benar, semua agama lain tidak benar. Pandangan seperti inilah yang memicu tindakan-tindakan the elephant in the room (bahasa Pallmeyer), yang membabi-buta melakukan dehumanisasi demi menyatakan agamanya yang paling benar (dan yang lain kafir). Dalam kritik Yewangoe terhadap kehidupan beragama di Indonesia ini, beliau juga menganggap tidak ada yang cocok untuk dikembangkan dalam kemajemukan agama di Indonesia ini, tapi keempat posisi itu membantu untuk mengkontekstualkan teori itu ke dalam negeri sendiri, yaitu “satu pohon mempunyai banyak daun, ada banyak agama dan semuanya itu berakar pada satu Tuhan saja.” Artinya tidak ada agama yang mengklaim dirinya benar karena “Kebenaran” itu sendiri adalah pusat yang harus dikelilingi oleh agama-agama yang ada.24

Dua pandangan di atas adalah pandangan para teolog dalam negeri. Kini, penulis, mencoba beralih pandangan ke pemikir lain yang ikut menyumbangkan kritiknya terhadap agama. Kimball dan Pallmeyer berusaha melihat faktor apa yang ada dalam agama ketika agama itu sendiri tidak lagi mendatangkan kedamaian, melainkan berujung kekerasan. Pada dasarnya Kimball dan Pallmeyer sama melihat adanya faktor intelektual, baik pada pemimpin agama maupun para pengikut setia agama dalam mengambil keputusan yang hendak dijalankan. Namun, bedanya ialah Kimball lebih condong kepada pola pikir para pemimpin agama dan para pengikut dan Pallmeyer sendiri lebih menyoroti teks kitab suci (dasar agama) yang dianggap sumber dari kekerasan itu sendiri.

Sungguh sangat menarik menurut penulis, ketika kita menggabungkan dua pola pikir ini (Kimball dan Pallmeyer). Kimball mensinyalir adanya awal kejahatan dari klaim kebenaran mutlak yang diberikan pada penginterpretasi teks bahwa tafsiran teks yang dilakukan adalah benar adanya dan perlu dilaksanakan demi melakukan kehendak Allah. Inilah yang menjadi kritik Pallmeyer juga, yaitu ternyata dalam teks itu sendiri mengandung tradisi violence of God, sehingga otomatis dalam interpretasi yang sembrono dan sempit akan melahirkan suatu gerakan kekerasan untuk berjuang mencita-citakan dan mengatasnamakan kehendak Allah tersebut. Selain itu, ada pula teori kepatuhan buta yaitu terjadi pada kalangan para pengikut yang mendewakan para pemimpin yang ingin mewujudkan zaman yang “ideal” atau dalam bahasa Pallmeyer adanya kepentingan pribadi dalam penafsiran the “sacred” texts itu. Sehingga sungguh sangat memungkinkan untuk jalan terakhir ialah meletuskan adanya perang suci atas nama “perangku adalah perang Allahku” dan itu akan menimbulkan konflik di setiap pelosok tanah air.

Namun, lebih menarik kalau kita meminjam istilah Galtung sejenak dengan Cultural Violencenya. Galtung memosisikan cultural violencenya sebagai dasar untuk melegitimasi kekerasan (direct dan structural) yang terjadi. Cultural violence terjadi menjadi sebuah legitimasi karena pandangan teologis yang ada di agama itu sendiri. Pandangan teologis ini menggerakkan para pengikut untuk bersikap sebagaimana seharusnya. Kembali lagi pada Suseno, bahwa pandangan teologis seperti inilah yang harus diperbaharui.

  1. Konflik dan Resolusinya (Mediasi): Suatu Sumbangsih Pemikiran Terhadap Konflik Agama di Indonesia

Konflik di Indonesia seperti di Ambon, Poso, dan lain sebagainya merupakan konflik agama yang tak dapat diselesaikan dengan tempo yang singkat. Artinya butuh proses (waktu) untuk menyelesaikan konflik yang besar ini. Ada pula konflik yang kecil, yang belum memuncak menjadi perang atas nama agama, seperti pengrusakan rumah-rumah ibadat di daerah Ibukota, pulau Jawa, dan lainnya. Konflik ini masih dapat diredam, namun ada potensi untuk menjadi besar (Galtung).

Untuk memahami dan menyelesaikan konflik ini dibutuhkan penengah agar kesepakatan bersama terjalin. Mediasi merupakan salah satu jalan yang semestinya ada dalam melihat pertikaian yang terjadi. Mediasi ada untuk kedua belah pihak, bukan untuk salah satu, oleh karenanya mediator hanya membantu untuk bersama melihat sisi positif yang harus dijalankan kedua belah pihak agar bisa berjalan ke depannya dengan damai. Adapun prinsip utama yang harus dipunyai mediator adalah sebagai pemberdaya dan fasilitator yang netral. Tidak boleh lebih dari itu karena intervensi mediator hanyalah di tengah dengan senetral-netralnya. Duabelas fase tindakan mediator yang harus diterapkan untuk mencapai kesepakatan bersama (win-win solution):25

    1. membangun hubungan para pihak yang bersengketa,

    2. memilih strategi-strategi sebagai proses mediasi,

    3. mengumpulkan dan menganalisis latar belakang informasi,

    4. mendesain rencana detail bagi mediasi,

    5. membangun kepercayaan dan kerjasama,

    6. memulai acara mediasi (adanya negosiasi),

    7. merumuskan masalah dan menetapkan agenda,

    8. mengungkapkan kepentingan tersembunyi para pihak yang bersengketa,

    9. menentukan pilihan-pilihan untuk penyelesaian masalah,

    10. menemukan pilihan-pilihan untuk menyelesaikan sengketa,

    11. tawar-menawar terakhir, dan

    12. mencapai penyelesaian formal.

Keduabelas langkah ini mengindikasikan bahwa upaya mencapai kesepakatan bersama dibentuk / diputuskan oleh kedua belah pihak yang berkonflik itu sendiri. Mediator hanya membantu proses, yang berperan penting dan yang sangat menentukan adalah kesadaran dan keterbukaan hati dan pikiran kedua belah pihak untuk merespon proses mediasi yang dilakukan.

Ada satu kata kunci yang mengena pada langkah-langkah mediasi ini, yang juga sesuai dengan saran dari Liek Wilardjo,26 yaitu adanya dialog. Liek Wilardjo menegaskan bahwa integrasi adalah kemungkinan ke depannya untuk sebuah konflik, tetapi yang terpenting adalah adanya dialog. Dengan adanya dialog antar umat beragama, berarti sudah menciptakan setidak-tidaknya suasana saling menghargai walaupun kurang dari yang diharapkan dalam mencapai perdamaian. Dialog menandakan adanya keinginan dari dalam untuk mendengarkan dan didengarkan antara kedua belah pihak. Dalam bahasa Galtung, dialog adalah negative peace, sedangkan integrasi adalah positive peace.


BUKAN PENYELESAIAN, MELAINKAN KESEPAKATAN BERSAMA

Konflik yang terjadi tak dapat terelakkan lagi ketika pola pikir kita masih tertutup terhadap apa yang ada disekeliling kita. Banyak pendekatan-pendekatan dilakukan, namun banyak pula yang gagal dalam melakukan pendekatan tersebut, karena masih adanya kepentingan pribadi yang dibawa dalam pendekatan itu. Gus dur dalam artikel Agus Rachmat27 mengatakan bahwa agama seharusnya dipisahkan dari negara, begitu pula sebaliknya. Negara yang membawa faktor sosial, politik dan ekonomi hanya menambah masalah baru dengan adanya kepentingan-kepentingan pribadi untuk melakukan penguasaan negara atas nama agama. Negara seharusnya menjadi instrumen sosial yang mengaktualkan ajaran universal setiap agama di Indonesia menjadi nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga bisa dikatakan dan seharusnya tetap berlaku, yaitu pancasila sebagai pandangan bersama di Indonesia. Pandangan bersama ini tidak dapat berjalan dengan mulus ketika salah satu pihak / agama mengintervensi urusan negara, dan begitu juga sebaliknya negara intervensi terhadap salah satu agama.

Dialog adalah sebuah jalan yang perlu dicoba. Dialog merupakan upaya mandiri yang seharusnya dilakukan agama-agama yang ada di Indonesia untuk mencegah masuknya intervensi negara / pihak-pihak yang membawa kepentingan pribadi para elit penguasa ke dalam pencapaian kesepakatan bersama. Dialog yang dilakukan perlu menembus dimensi setiap budaya yang bertikai karena paradigma yang paling mendasar terletak pada budaya itu sendiri, sehingga kesepakatan bersama ada bukan untuk menghilangkan budaya itu, melainkan memperbaharuinya dengan paradigma yang baru, contoh di Ambon ada suatu ikatan yang telah membudaya, yaitu “pela”, budaya yang menjunjung tinggi kebersamaan , di mana susah dan senang dirasakan secara bersama. Budaya tetap exist dan pola pikir terus berkembang, itulah yang seharusnya berkembang di daerah konflik karena yang berkonflik bukan orang kita dengan orang asing, melainkan orang kita dengan orang kita. Tidak ada yang bisa menyatukan selain dari pada budaya itu sendiri, budaya yang pada dasarnya dibentuk karena kesepakatan bersama.

Mediasi memerlukan waktu yang lama untuk konflik seperti di Ambo, Poso, dan lain sebagainya, begitu juga kesepakatan yang akan dicapai. Ketika agama tidak bisa menyatukan, maka budaya yang berbicara. Mediasi (Resolusi) yang dijalankan bukan untuk menyelesaikan, melainkan untuk mencapai kesepakatan bersama. Artinya, menurut penulis, adalah bukan musuh yang kita hadapi, tapi saudara. Adanya kesepakatan bersama akan mencapai rasa kekeluargaan yang tinggi, sehingga kepentingan bersama didahulukan dari pada kepentingan pribadi (abadi).

DAFTAR PUSTAKA



Engel, Jacob D. Gereja dan Masalah Sosial. Salatiga: Tisara Grafika, 2007.

Kimball, Charles. When Religion Becomes Evil. New York: Harpercollins Publishers,Inc, First Edition. 2002.

Lattu, Izak Y. M. Makalah Agama, Konflik, dan Resolusi Konflik: Duabelas Fase Tindakan Mediator oleh Peter Suwarno.

Litaay, Theofransus L. A., dkk. Manajemen Konflik: Materi Pelatihan Untuk Stakeholder. Sulawesi Tengah: Poso. 2007.

Nelson-Pallmeyer, Jack. Is Religion Killing Us? New York: Trinity Press International. 2003.

Sears, David O. Jonathan L. Freedman, dkk. Psikologi Sosial Jilid 1. Jakarta: Erlangga, Edisi Kelima. 1988.

Tim Balitbang PGI. Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia: Theologia Religionum. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2003.

Yewangoe, A. A. Iman, Agama dan Masyarakat Dalam Negara Pancasila. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2002.

SUMBER JURNAL


Jurnal Waskita Vol.II No. 2, Nov.2005 oleh Liek Wilardjo dalam artikel “Persrawungan Ilmuwan-Agamawan: Dialog Menuju Kemungkinan Integrasi?”



SUMBER INTERNET


http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia#Hubungan_antar_agama


http://en.wikipedia.org/wiki/peace_and_conflict_studies


http://www.passievoorvrede.nl/upload/indonesie/karagan/karagan_01_interreligious.html

1 Theofransus L. A. Litaay, dkk, Manajemen Konflik: Materi Pelatihan Untuk Stakeholder (Sulawesi Tengah: Poso, 2007), 1.

2 Charles Kimball, When Religion Becomes Evil (New York: Harpercollins Publishers, Inc, First Edition, 2002).

3 Ibid., 23.

4 Ibid., 38-166.

5 Jack Nelson-Pallmeyer, Is Religion Killing Us? (New York: Trinity Press International, 2003).

6 Ibid., 148.

7 Ibid., 46.

8 Ibid., 51.

9 Ibid., 68.

10 Ibid., 69.

11 Ibid., 75.

12 Ibid.

13 Ibid., 79.

14 Ibid., 81.

15 Ibid., 84.

16 Ibid., 88.

17 Ibid., 90.

18 Ibid., 91.

19 diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/peace_and_conflict_studies pada 12 Dec 2007 pukul 07.07 p.m.

20 David O. Sears, Jonathan L. Freedman, dkk, Psikologi Sosial Jilid 1 (Jakarta: Erlangga, Edisi Kelima, 1988), 245.

21 Jacob D. Engel, Gereja dan Masalah Sosial (Salatiga: Tisara Grafika, 2007), 108.

22 diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia#Hubungan_antar_agama pada 12 Dec 2007 pukul 07.44 p.m.

23 Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia: Theologia Religionum (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 52-61.

24 A. A. Yewangoe, Iman, Agama dan Masyarakat Dalam Negara Pancasila (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 17-25.

25 Izak Y. M. Lattu, Makalah Agama, Konflik, dan Resolusi Konflik: Duabelas Fase Tindakan Mediator oleh Peter Suwarno .

26 Jurnal Waskita Vol.II No. 2, Nov.2005 oleh Liek Wilardjo dalam artikel “Persrawungan Ilmuwan-Agamawan: Dialog Menuju Kemungkinan Integrasi?,” 137-147.

Rabu, 12 Maret 2008

Gay ? Salahkah Mereka?

(Suatu Tinjauan Kritis-Pastoral Mengenai Peran Gereja-gereja di Indonesia Terhadap Kaum Gay)


PENDAHULUAN DAN LATAR BELAKANG

Pada zaman post-Modern ini sejumlah pemikiran dinilai telah banyak mengalami perkembangan yang pesat, termasuk mengangkat hal-hal yang tabu atau yang kecil (minoritas) untuk menjadi buah bibir, baik di kalangan awam maupun intelektual dan kaum gay salah satunya. Perbincangan mengenai kaum Gay termasuk salah satunya sebagai permasalahan sosial yang terjadi di seluruh pelosok dunia. Mengapa dikatakan sebagai permasalahan sosial? Hal ini dikarenakan kaum Gay telah banyak mendapat kritikan dalam masyarakat sosial di mana kaum Gay itu tinggal, ada yang pro, namun ada juga yang kontra. Negara-negara di Eropa dan Amerika kini telah menuai pro-kontra kaum Gay itu, sebagai bukti, ketika masuknya kaum Gay di tengah-tengah masyarakat, bahkan ada juga yang menjadi pemimpin di salah satu Gereja. Hal ini banyak menuai penilaian etis dan teologis dalam menanggapi kaum Gay ini sendiri.

Sebagian masyarakat Indonesia menilai kaum Gay sebagai penyimpangan sosial yang harus segera ditindaklanjuti. Negara Indonesia bisa dikatakan masih merupakan hal yang tabu untuk mengatakan mengenai homoseksualitas, namun tidak menutup kemungkinan juga ada beberapa pemikir nasionaslisme kita yang mampu mengambil sikap fair terhadap kehadiran kaum gay ini. Toh, juga akan menuai pro dan kontra, apalagi negara Indonesia ini terkenal begitu kental dengan ajaran agama yang dianutnya secara pribadi. Di sinilah peran lembaga agama akan nampak sebagai pengontrol kehidupan bersosial dan berjemaat. Bagaimana seharusnya dengan gereja sendiri dalam melihat kaum gay ini ketika kini sudah mulai diketahui bahwa gay ternyata bawaan gen? Masihkah gereja menutup sebelah mata dengan menyikapi sementara gereja berperan penting dalam penentuan sikap warga jemaat terhadap masalah sosial?


LANDASAN TEORI DAN PERMASALAHAN

  1. Gereja

Gereja menurut makna Perjanjian Baru bukanlah bangunan atau tempat, melainkan gereja adalah umat yang berkumpul dalam nama Yesus. Menurut Shenk, definisi ini ditinjau berdasarkan pernyataan Yesus sendiri (Mat.18:20), yang menyatakan bahwa di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.1 Abineno berpendapat bahwa gereja sebagai persekutuan yang mengajar. Selama ini kita selalu terpaku dengan gereja dengan tujuannya memberitakan Firman, melayani sakramen Baptisan dan Perjamuan Kudus, menggembalakan anggota jemaat, serta menolong mereka yang hidup dalam kekurangan dan kemiskinan. Abineno menegaskan bahwa gereja juga untuk mengajar dan membina anggota-anggota jemaatnya. Gereja yang tidak mengajar dan membina anggota-anggotanya, sebenarnya bukanlah gereja. Gereja seharusnya mampu menyeimbangi 3 tugas utama gereja, yaitu koinonia (bersekutu), diakonia (melayani), dan marturia (bersaksi). Gereja tidak hanya bersekutu (dalam tiap minggunya), melayani (dalam praksisnya), melainkan juga mampu bersaksi (termaktub dalam mengajarkan dan menyuarakan kebenaran).2

Durkheim memandang Agama (gereja) adalah masyarakat itu sendiri.3 Pernyataan ini mengandung makna bahwa gereja juga mempunyai dimensi sosialnya. Jacob D. Engel mengatakan bahwa jika gereja melakukan fungsinya sebagaimana mestinya, maka pelayanan gereja sangat berarti bagi kehidupan masyarakat pada umumnya. Fungsi gereja sebagaimana mestinya yang dimaksud yaitu fungsi internal gereja dan fungsi eksternal gereja. Fungsi internal gereja adalah bertanggung jawab terhadap pertumbuhan iman / kerohanian dan kehidupan sosial jemaat dalam gereja, sedangkan fungsi eksternal gereja adalah bertanggung jawab terhadap kehidupan sosial masyarakat secara umum untuk menghadirkan damai sejahtera Allah. Namun, apa yang terjadi ketika gereja tidak dapat menyikapi perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat sekitar. Gereja mengalami disfungsi sosial. Engel membagi disfungsi sosial gereja dalam beberapa faktor, yang salah satunya adalah ketidakpekaan Gereja dalam perubahan masyarakat.4

  1. Perkembangan Ilmu Teknologi: Gen Gay

Penelitian mengenai genetika ini didasari sebelumnya oleh Gregor Mendel (abad 19), yang mengatakan bahwa gen mempengaruhi penurunan sifat manusia.5 Pada tahun 1950-an dan 1960-an, homoseksual dipelajari dari jarak yang objektif, tepatnya selalu dilihat dari perspektif heteroseksual. Sampai kemudian muncul generasi baru homoseksual muda yang mulai ambil peranan dalam studi ini. Mereka mempelajari homoseksualitas dengan penuh semangat empati. Kemudian, peristiwa Stonewall tahun 1969 (pembangkangan kaum homoseksual untuk memperjuangkan hak-haknya) dan bersamaan dengan gelombang kedua gerakan perempuan, homoseksualitas segera menjadi gerakan yang nyata. Tidak lagi takut-takut, tidak lagi tersembunyi. Sekaligus ia mulai dipertimbangkan sebagai bahan kajian studi. Pada tahun 1970-an, bidang studi ini secara internasional dikenal luas dan mulai bisa dibandingkan dengan perkembangan studi perempuan atau studi etnisitas atau ras, meskipun tentu saja ukurannya masih lebih kecil karena lebih banyak stigma-stigma yang dikenakan di situ. Ilmuwan pertama yang memperkenalkan “born gay” adalah ilmuwan Jerman, Magnus Hirscheld pada tahun 1899. dia menegaskan homoseksual adalah bawaan gen. Dia menyerukan persamaan hukum untuk kaum homoseksual.6 Penelitian mengenai homoseksual adalah bawaan gen ini juga didukung oleh Dean H. Hammer beserta tim penelitinya di Lembaga Kanker Nasional AS (US National Cancer Institute) dan mereka menambahkan bahwa gen Ibu dapat memberikan gen gay (homoseksual) baik pada anak laki-laki maupun anak perempuan mereka.7

  1. Permasalahan

Pandangan Umum

Menurut beberapa ahli seperti yang dikatakan di atas, gay adalah bawaan gen. Hal ini di satu sisi telah membuka mata kita yang tidak dapat kita elakkan ternyata ada gen homoseksual, di samping laki-laki dan perempuan (heteroseksual). Di sisi lain, ada pergolakkan-pergolakkan dalam nilai etis, moral dan sosial yang dengan tegas mengatakan bahwa gay adalah penyimpangan sosial. Ada juga salah satu cara yang dilakukan para peneliti yaitu melakukan pengujian genetika dalam setiap janin guna mengurangi gen gay yang akan muncul, tapi apa hal ini dapat berjalan dengan baik ke depannya.

Gejolak-gejolak seperti ini sudah menjadi permasalahan dunia. Di beberapa negara di dunia sudah ada sebagian yang menerima kaum gay ini dalam pergaulannya di masyarakat, bahkan sampai menjadi pejabat-pejabat gereja. Pernikahan kaum gay pertama kali dilakukan di Belanda pada 31 Maret 2001, kemudian disusul di Belgia dan Kanada. Ketiga negara ini tercatat berani memberikan hak pada kaum homoseksual untuk menikah yang juga sekaligus diberkati di gereja. Namun, dalam pelaksanaannya tetap ada pro dan kontra, salah satu contohnya, Keuskupan Gereja Anglikan di Vancouver, Canada. Setelah melakukan pemberkatan kepada beberapa pasangan same-sex union (persatuan dua orang dengan jenis kelamin yang sama), beberapa gereja di bawah keuskupan melepaskan diri.8

Ada beberapa pertanyaan bagi beberapa ahli peneliti dan peranan gereja khususnya di Indonesia dalam menyikapi isu-isu sosial-etis seperti ini:9

  1. Apakah kecenderungan genetik ke arah homoseksualitas membuat pembawa gen tersebut tidak bersalah atau salah?

  2. Mungkinkah kehadiran gen gay di dalam janin yang belum dilahirkan dianggap sebagai cacat genetik dan menjadi alasan untuk aborsi?

  3. Apakah pengujian genetika secara rutin akan menghasilkan pengurangan besar-besaran dalam jumlah pria gay? Apakah ini dapat dianggap pendiskriminasian kelas?

  4. Apakah gereja-gereja di Indonesia hanya menutup mata saja dalam mendengar isu-isu sosial-etis ini?

  5. Bagaimana peran dan tindakan gereja melihat perkembangan sosial masyarakat dalam tingkat kaum gay ini?

  6. Dapatkah Gereja dalam hal ini melihat hasil penelitian bahwa gay merupakan bawaan gen telah berdampak dalam kehidupan bermasyarakat (sosial) sebagai perubahan sosial masyarakat pada zaman Post-Modern ini dengan melihat eksistensi kebudayaan yang bersifat dinamis, tidak statis?

  7. Apakah benar sikap Gay ketika diketahui bersama berdasarkan bawaan gen maka tidak dapat disalahkan dalam berorientasi seksual? Apakah tidak bisa disembuhkan? Mungkin dalam hal ini pihak gereja perlu bekerja sama dengan pihak kedokteran serta biolog agar dapat menyeimbangi peran dan tindakan gereja itu sendiri dalam bersosialisasi.


ANALISA PERMASALAHAN

  1. Perkembangan Ilmu Teknologi Selanjutnya: Gen Gay

Menarik untuk diketahui bersama, upaya masyarakat 10 pada tahun 1980-an dalam menanggapi permasalahan gay ini juga sedikit demi sedikit melacak sejauh mana perkembangan kaum gay. Pada tahun 1980-an beberapa ahli mulai memberikan pusat penelitiannya mengenai cultural studies dan penyakit aids. Hal ini dilakukan sengaja untuk menempatkan homoseksualitas pada posisi yang merugikan. Upaya yang dilakukan sampai para ahli juga melacak film-film porno tentang homoseksualitas.11

Pada artikel internet “Sains Bicara” dituliskan bahwa pada tahun 1991, 2 periset Dr. Michael Bailey & Dr. Richard Pillard melakukan penelitian untuk membuktikan apakah homoseksual diturunkan alias bawaan. Ringkasnya, riset itu menyimpulkan adanya pengaruh genetik dalam homoseksualitas. Meskipun menemukan adanya link homoseksual secara genetika, namun menyatakan bahwa gen bukanlah faktor yang dominan dalam menentukan homoseksualitas. Dr. Richard Pillard, seorang psikiatri di Boston University School of Medicine menegaskan bahwa seksualitas lebih dipengaruhi oleh lingkungan dan peranan genetik sangat terbatas. Jadi, ada klarifikasi sejenak bahwa lingkungan juga mempunyai peranan penting membentuk orientasi seksual, peranan genetika sangat terbatas. Pendapat ini diteruskan oleh Dean Hammer (1993), seorang gay. Setelah ia meneliti lagi ternyata sangat susah bagi ilmu genetika untuk menentukan apakah gay itu bawaan dari gen. Gay itu ditentukan oleh lingkungan, tapi beliau juga menjelaskan adalah suatu kebodohan untuk menyatakan gen-gen tidak terlibat.12

Penulis, berdasarkan data di atas, mensinyalir bahwa adanya gen pembawa (kromosom X yaitu ibu) memang benar ada. Secara biologis manusia yang mendapat gen homoseksual tidak dapat dihindari. Adapun beberapa cara ahli untuk mengurang kaum gay dengan pengujian genetika. Menurut penulis, hal ini telah melanggar norma etis bahwa manusia itu mendapat gen tersebut bukan karena kehendak sendiri melainkan memang ada dengan sendirinya sehingga menimbulkan kesan “tidak menerima kehadiran” dan ini termasuk dalam tingkat diskriminasi terhadap kaum gay sendiri. Perlu juga ditinjau dari segi kehadiran gen ini tidaklah dapat dikatakan sebagai cacat genetik karena beberapa ahli sendiri belum ada yang mengatakan bahwa gen gay ini adalah gen cacat sehingga baik secara medis maupun etis tindakan aborsi terhadap janin yang terdapat gen homoseksual ini tidak dapat dibenarkan.

  1. Pandangan Teologis

Banyak pandangan beberapa teolog konservatif-fundamentalisme mengatakan bahwa gay adalah terkutuk. Teori ini berangkat dari ajaran Alkitab yang mengutuk tindakan homoseksualitas yaitu kisah Sodom dan Gomora. Kisah ini menjadi tolok ukur utama yang digunakan untuk tidak membenarkan adanya homoseksualitas (Kej.19).13 Menurut penulis, apakah teori di atas menutup kemungkinan adanya perkembangan ilmu teknologi saat ini yang pada dasarnya di zaman Alkitab belum ada? Tentu tidak bisa. John Titaley juga menegaskan kembali ada kemungkinan kisah itu dibuat untuk menghindari musnahnya bangsa Yahudi kelak karena keturunan tentunya tak bisa diperoleh melalui perkawinan homoseksual. Ketika kita membenci mereka karena perbuatan mereka, berarti kita secara sengaja menolak mereka dalam komunitas.

Timbul analisa kritis penulis kemudiannya, apakah ajaran agama mengajarkan kebencian terhadap sesama? Bukankah hal ini sangat bertentangan dengan prinsip “Hukum Yang Terutama” yakni mengasihi TUHAN dengan segenap hati, jiwa, dan akal budimu/pikiran serta mengasihi sesama seperti diri sendiri (Matius 22:37-40)? Tidak dibenarkan dalam Alkitab (I Yoh. 3:15) kita manusia saling membenci, membenci sama halnya dengan membunuh. Namun, dalam hal ini bukan berarti penulis mengatakan bahwa Alkitab tidak melarang adanya kemesuman di antara sesama lelaki. Dalam kitab Roma 1: 25-30 dikatakan dengan jelas bahwa perbuatan homoseksual dipandang sebagai dosa dan salah satu bentuk dari keberdosaan manusia. Melalui pandangan kitab Roma ini dapat kita lihat bahwa sifat Tuhanlah untuk mengutuk perbuatan itu, artinya tidak dibenarkan kita masuk dalam ‘kawasan Tuhan’ untuk ikut mengutuk sesama kita manusia. Tugas kita sebagai manusia tidak lain adalah mengasihi sesama manusia, bukan membenci, atau bahkan menghindari (ekskomunikasi) kaum gay.

  1. Pandangan Filosofis: Aku, Manusia Yang Mengasihi Sesama

Dalam ajarannya tentang Manusia, Plato mengatakan bahwa manusia menurut kodratnya adalah mahluk sosial. Oleh karena itu, untuk mencapai hidup yang baik manusia (individu) dituntut untuk saling berbuat baik dan bijaksana. Bagaimana hal itu dapat dicapai? Plato menambahkan hal itu dapat dicapai jika manusia berpikir dengan akal budi. Akal budi inilah yang mengatur dan mengarahkan jiwa manusia secara terus-menerus pada “ide yang baik”. Lebih baik membebaskan diri dari pemikiran irasional serta kesan-kesan dangkal dan semu mengenai realitas.14

Jika boleh dikembangkan lagi, kebencian si aku terhadap sesama, dengan alasan apapun termasuk agama, apalagi dengan keinginan untuk membunuh, jelas berasal dari kesombongan diri yang tidak menyadari bahwa diri si aku pun adalah seorang pendosa adanya. Ke’aku’an yang berjalan untuk mencapai hidup yang baik akan terus mengarahkan ‘aku’ pada sikap-sikap yang baik dan ini melahirkan proses pertobatan terus-menerus dalam diri-‘ku’ sehingga baik hubungan’ku’ dengan manusia, begitu juga hubungan’ku’ dengan Sang Baik, di mana melalui Roh-Nya ‘aku’ dipimpin untuk mengasihi sesama demi mencapai hidup yang baik. Bagaimana ‘aku’ dapat membina hubungan’ku’ dengan Sang Baik ketika diri’ku’ sendiri tidak berdamai dengan sesama’ku’? Akal budi tidak hanya mengarahkan pada aspek teoretis, tapi juga mendorong ‘aku’ melakukan tindakan.

Pada intinya si ‘aku’ baik setuju maupun tidak setuju dengan homoseksualitas,
si ‘aku’ tidak mempunyai alasan untuk membenci orang yang berkondisi demikian,
sebaliknya harus mengasihinya sebagaimana sesama lainnya.

  1. Gereja Yang Berdimensi Sosial: Tinjauan Kritis-Pastoral

Setelah melihat pandangan Ilmu teknologi, pandangan teologis, pandangan filsafat maka gereja-gereja di Indonesia sebagai pranata sosial seharusnya mengambil sikap yang benar-benar adil dalam bermasyarakat. Kepekaan gereja dalam melihat perubahan masyarakat dari zaman ke zaman perlu ditingkatkan, di mana dipandang dalam kebutuhan sosial budaya bahwa tak ada budaya yang statis. Budaya dan perkembangan masyarakat bersifat dinamis dari zaman ke zaman dengan berlalunya waktu.15 Pandangan ilmu teknologi pada beberapa dekade tahun yang lalu berbeda dengan sekarang. Kebutuhan fisik, sosial, dan teologi juga mengalami kemajuan paradigma dalam memandang segala sesuatu dari waktu ke waktu. Gereja juga seharusnya bukan hanya mampu mengkritik keadaan sosial masyarakat, tetapi juga mengandalkan dimensi pastoralnya dalam langkah selanjutnya.

Ada 5 fungsi pastoral, yakni: pertama, menyembuhkan (healing). Dalam penyembuhan ini manusia seharusnya dipandang secara holistik, mengatasi kerusakan yang dialami orang dengan cara memperbaiki orang tersebut menuju keutuhan dan membimbing orang ini mencapai keadaan yang lebih maju dari keadaan sebelumnya. Kedua, menopang (sustaining), yaitu menolong orang yang sakit atau terluka agar ia dapat bertahan dan mengatasi keadaan. Dalam fungsi menopang ini ada 4 tugas, yaitu penjagaan (preservation), penghiburan (consolation), penguatan (consolidation) dan pemulihan (redemption). Ketiga, fungsi membimbing (guiding), yaitu menolong orang-orang yang sedang berada dalam kebingungan di dalam mengambil keputusan-keputusan yang pasti di antara serangkaian alternatif pikiran dan tindakan ketika pilihan-pilihan itu dipandang mempengaruhi keadaan jiwa mereka sekarang dan pada waktu yang akan datang. Keempat, mendamaikan (reconciling), yaitu berusaha membangun kembali hubungan yang rusak antara manusia dengan sesamanya dan antara manusia dengan Allah. Di dalam upaya pendamaian ini, pengampunan memainkan peranan yang sangat penting. Kelima, memelihara (nurturing), yaitu memampukan orang untuk mengembangkan potensi-potensi yang diberikan Allah kepada mereka. Menurut Daniel Susanto, kelima fungsi pastoral ini dapat difungsikan oleh gereja-gereja di Indonesia karena sangat berhubungan baik dari segi sosial maupun teologi.16 Melalui kelima fungsi ini, gereja-gereja di Indonesia tidak hanya mengkritisi para kaum gay yang ada melainkan juga turut menyembuhkan, menopang, membimbing, mendamaikan, dan memelihara sehingga adalah tanggung jawab gereja merespon sikap jemaat terhadap kaum gay di Indonesia. Selain itu juga, seperti yang dikatakan Abineno di atas gereja seharusnya merupakan persekutuan yang mengajar, bukan mengekskomunikasikan sebagian masayarakat yang menghadapi permasalahan sosial.

Lalu pertanyaan berikut, apakah benar sikap Gay ketika diketahui bersama berdasarkan bawaan gen maka tidak dapat disalahkan dalam berorientasi seksual? Menurut hemat penulis, ketika gereja mengetahui bahwa gay ini ternyata bawaan gen maka tidak perlu menyikapi terlalu ekstrim, justru yang menjadi perhatian utama adalah bagaimana sekarang kaum gay ini sendiri dalam membawa orientasi seksualnya. Tidak dibenarkan secara etis oleh karena bawaan gen maka orientasi sosial membuat meresahkan masyarakat. Bahkan, kini para ilmuwan sudah mendapat penemuan baru dalam mengubah orientasi seksual kaum gay (menyembuhkan). Dalam hal ini gereja perlu bekerja sama dengan pakar biolog untuk melihat kemungkinan-kemungkinan apa yang membuat kaum gay bisa menyesuaikan diri melalui faktor lingkungan, seperti yang dikatakan pada pandangan ilmu genetika bahwa gen hanya berpengaruh terbatas, yang paling menentukan adalah lingkungan. Peranan gereja menentukan bagaimana lingkungan jemaat ikut dipartisipasikan dalam mendukung secara psikologis kaum gay untuk menyembuhkan kaum gay itu sendiri. Hanya pengakuan yang mereka (kaum gay) perlu karena menurut hemat saya, ketika pengakuan itu ada maka tidak sulit mendekati kaum gay untuk menyembuhkan mereka secara bertahap. Kondisi seperti tidak akan memungkinkan terjadi ketika pandangan umum sosial terhadap kaum gay masih terpaku dalam bayang-bayang penolakan Alkitab terhadap kaum gay sebagai legitimasi bahwa Allah sendirilah yang telah menolak kaum gay.

Proses ini akan menjadi pergumulan warga gereja di Indonesia karena ketika gereja melakukan pastoral terhadap kaum gay maka pikiran kecil yang timbul dalam masyarakat adalah adanya kemungkinan bahwa gereja telah menerima kaum gay dalam berjemaat. Tidak menutup kemungkinan adanya pro dan kontra dalam mengambil sikap ini bagi gereja-gereja di Indonesia. Bagaimanapun kaum gay tidak bersalah ketika dalam gen mereka sudah ada. Hanya pembinaan gereja yang berperan penting karena lingkungan yang dibutuhkan untuk saat ini adalah peran gereja karena masyarakat Indonesia sendiri masih riskan untuk membawa peran kaum gay dalam gereja. Ketika gereja ikut membuang kaum gay dalam komunitasnya sendiri, maka gereja telah melakukan disfungsi sosial. Tidak adanya kepekaan gereja dalam melihat situasi sosial yang justru ikut-ikutan masyarakat umum dalam memandang dengan berat sebelah (baca: tidak adil). Kebanyakan artikel dalam internet menjurus kepada pertanyaan khusus untuk dalam negeri, kapan giliran bangsa Indonesia memberikan hak bagi kaum gay untuk ikut dalam kemasyarakatan di Indonesia ini?


KESIMPULAN, TEMUAN, DAN SARAN

  1. Kesimpulan

Kaum gay ada bukan karena kehendak mereka sendiri, namun gereja seharusnya tetap kritis dalam menanggapi keberadaan kaum gay ini. Gereja-gereja di Indonesia tidak sepatutnya hanya memandang sebelah mata tanpa melihat realita yang ada melalui penemuan-penemuan yang baru lahir. Sikap kritis gereja seharusnya mampu diikuti oleh tindakan pastoral gereja terhadap kaum gay. Menurut hemat penulis, dipandang perlu bagi gereja selain belajar dari dalam juga belajar dari luar. Pandangan gereja-gereja Indonesia tidak perlu eksklusif dalam menghadapi kaum gay karena akan menimbulkan ketimpangan-ketimpangan sosial yang digandrungi oleh kepentingan-kepentingan pribadi. Keberadaan kaum gay memang patut dikritisi, namun juga perlu dipastoralkan karena akan berhubungan dengan tanggung jawab gereja. Gereja-gereja di Indonesia akan lebih bermakna kerika berani melihat ulang isi Alkitab, bukan berjalan berdasarkan historisitas Alkitab, melainkan berdasarkan isi ajaran-ajaran Alkitab, terkhusus ajaran-ajaran Yesus. Ajaran-ajaran Gautama mampu menembus dimensi tiap budaya dan negara yang menganut ajarannya, seharusnya hal ini nampak dalam kekristenan yang sesungguhnya di mana ajaran Kristus mampu membahasakan kebaikan dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.

  1. Temuan

Beberapa hal yang penulis cermati yaitu perkembangan sosial zaman Post-Modern ini. Kehidupan sosial yang ada pada saat ini telah menembus semua haluan, artinya banyak merobohkan pandangan-pandangan umum sebelumnya karena adanya tuntutan persamaan hak disertai bukti kuat melalui ilmu teknologi, salah satunya kaum gay. “Ketika semua dipertanyakan”, inilah yang menjadi dasar runtuhnya teori-teori yang bersikeras mempertahankan teorinya yang sudah tidak up to date lagi. Akankah kebenaran itu sendiri dipertanyakan dalam praksisnya? Hal ini menjadi tantangan besar bagi zaman Post-Modern ini sendiri. Menurut hemat penulis, kepedulian sosial gereja seharusnya dibarengi dengan kepekaan gereja itu sendiri.

Satu hal yang penulis fokuskan adalah kecenderungan homoseksual merupakan bawaan gen, sehingga kecenderungan tersebut adalah kehendak Allah dan karunia Allah. Namun, semua ini ditentukan melalui faktor lingkungan sosial masyarakat. Gereja salah mengambil sikap, maka secara sengaja pula kehendak dan karunia Allah itu sendiri diekskomunikasikan. Bagaimana peran gereja itu ada ketika gereja itu sendiri tidak dapat melihat karunia Allah yang berbeda pada tiap manusia? Gereja telah gagal dalam memandang karunia Allah. Gereja telah memenjarakan karunia Allah menurut bahasa manusia sendiri karena Allah, perlu diketahui dengan seksama, tidak hanya bekerja dalam bahasa manusia (baca: Alkitab), melainkan juga dalam karya-karya-Nya yang telah nyata dihadapan kita.

  1. Saran

Dalam menghadapi kemajemukan masyarakat pada zaman ini, khususnya masyarakat Indonesia, gereja-gereja di Indonesia seharusnya bersedia membuka diri sehingga dalam mengatasi permasalahan sosial yang ada gereja tidak hanya memandang sebelah mata. Gereja yang menyibukkan dirinya akan tertinggal jauh dengan perkembangan zaman. Kebutuhan sosial di Barat berbeda dengan kebutuhan sosial di Indonesia, oleh karenanya gereja-gereja di Indonesia diharapkan mampu memakai baju dan kacamata asli Indonesia untuk menyejahterakan warga jemaatnya dan masyarakat Indonesia umumnya. Menurut penulis, kehadiran gereja sangat dipandang perlu dalam rangka menjadi kontrol sosial-etis dalam bermasyarakat. Ketika gereja tidak akan pernah hilang dari suara kenabiannya, maka warga jemaat juga tidak akan pernah kehilangan pegangannya dalam menghadapi sesamanya sebagai mahluk ciptaan ‘Sang Baik’.


DAFTAR PUSTAKA


Abineno, J. L. Ch. Sekitar Katekese Gerejawi: Pedoman Guru. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002.

Campbell, Neil A. dkk. Biologi. Jakarta: Erlangga, edisi kelima jilid 1. 2002.

Engel, Jacob D. Gereja dan Masalah Sosial. Salatiga: Tisara Grafika, 2007.

Ihromi, T.O (ed.).Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996.

Peters, Ted dan Gaymon Bennet (peny.). Menjembatani Sains dan Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.

Shenk, David W. Ilah-ilah Global: Menggali Peran Agama-agama Dalam Masyarakat Modern. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.

Susanto, Daniel. Pelayanan Pastoral di Indonesia Pada Masa Transisi. Jakarta: UPI STT Jakarta, 2006.

Tjahjadi, Simon Petrus L. Petualangan Intelektual: Konfrontasi Dengan Para Filsuf Dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern. Yogyakarta: Kanisius, 2004.


SUMBER INTERNET

www.is-lam@isnet.org

www.google.com _aktual1_Pernikahan Gay di Kanada, Belanda dan Belgia.

www.google.com _ sains bicara.

www.google.com _Study Gay-Lesbian KUNCI_OR_ID.





1 David W. Shenk, Ilah-ilah Global: Menggali Peran Agama-agama Dalam Masyarakat Modern (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 302.

2 J. L. Ch. Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi: Pedoman Guru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 85.

3 Pernyataan Durkheim mengenai hal ini dilatarbelakangi karena masalah sosial pada saat itu. Perubahan masyarakat yang sangat cepat namun tak dapat diantisipasi oleh gereja, sehingga menimbulkan berbagai ketimpangan sosial. Gereja sebagai kumpulan orang percaya (dalam hal ini masyarakat) tidak berfungsi sebagai pranata sosial dengan baik. Diakses pada 07 Nov 2007 11p.m dari www.is-lam@isnet.org dalam subject: (is-lam) Sosiologi Agama Durkheim.

4 Jacob D. Engel, Gereja dan Masalah Sosial (Salatiga: Tisara Grafika, 2007), 1-12.

5 Neil A. Campbell, dkk., Biologi (Jakarta: Erlangga, 2002, edisi kelima jilid 1), 269.

6 Sumber diakses pada 9 Nov 2007 12 p.m dari www.google.com _ sains bicara.

7 Ted Peters dan Gaymon Bennet (peny.), Menjembatani Sains dan Agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 132.

8 Sumber diakses pada 9 Nov 2007 12.04 p.m dari www.google.com _aktual1_Pernikahan Gay di Kanada, Belanda dan Belgia

9 Pertanyaan antara 1-3 merupakan pertanyaan-pertanyaan yang penulis munculkan dari buku Menjembatani Sains dan Agama hal. 133-134 guna menunjang topik permasalahan dalam judul besar penulisan ini serta penulis coba menjawab sesuai dengan konteks Indonesia khususnya.

10 Dalam hal ini beberapa ahli yang melakukan penelitian.

11Sumber diakses pada 9 Nov 2007 12.02 p.m dari www.google.com _Study Gay-Lesbian KUNCI_OR_ID.

12Sumber diakses pada 9 Nov 2007 12 p.m dari www.google.com_sains bicara.

13Dikutip dari John Titaley berdasarkan diskusi kelas Pengantar Sosiologi pada hari Jum’at, 9 Nov 2007.

14 Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual: Konfrontasi Dengan Para Filsuf Dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 55-56.

15T.O Ihromi (ed), Pokok-pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996), 28-32.

16Daniel Susanto, Pelayanan Pastoral di Indonesia Pada Masa Transisi (Jakarta: UPI STT Jakarta, 2006), 29-33.